Bendera Putih di Tanah Rencong

Tangerang, Sundapost.co.id – Bencana, dalam negara berkembang yang kaya sumber daya seperti Indonesia, jarang benar-benar mengejutkan karena yang mengejutkan biasanya hanyalah skala kerusakan dan jumlah korban, bukan sebab-sebabnya. Tsunami Aceh 2004 dan banjir besar Sumatra 2025 memperlihatkan dua fase berbeda dari masalah yang sama: bagaimana negara mengelola risiko yang ia sendiri bantu ciptakan.
Jika tsunami Aceh menyingkap negara yang belum siap secara institusional, maka banjir Sumatra dua dekade kemudian memperlihatkan sesuatu yang lebih tidak nyaman, negara yang telah belajar, diperingatkan, dan memiliki instrumen kebijakan, tetapi secara sadar memilih menunda pencegahan demi menjaga stabilitas politik dan akumulasi ekonomi.
Dalam kerangka ekonomi politik, bencana bukanlah kegagalan sebagai kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari model pembangunan tertentu. Indonesia pasca-reformasi membangun legitimasi politiknya di atas dua janji utama: pertumbuhan ekonomi dan stabilitas. Lingkungan, dalam konfigurasi ini, diperlakukan sebagai input murah yang bisa dikonversi menjadi angka pertumbuhan, sementara risiko ekologis diposisikan sebagai biaya eksternal yang bisa ditunda, dipindahkan, atau dinegosiasikan ulang.
Tsunami Aceh 2004 terjadi di luar logika ini, ia datang sebagai kekuatan eksternal yang brutal. Namun respons pasca-tsunami justru memperlihatkan bagaimana negara belajar mengelola bencana tanpa mengganggu fondasi ekonomi politiknya.
Reformasi kebencanaan pasca-Aceh sering dipuja sebagai kisah sukses institusional. Undang-undang disahkan, badan nasional dibentuk, peta risiko disusun, dan bahasa pengurangan risiko diintegrasikan ke dalam dokumen pembangunan.
Namun di balik kemajuan normatif tersebut, arah pembangunan tidak pernah benar-benar dipertanyakan. Negara belajar bagaimana merespons bencana, bukan bagaimana berhenti memproduksinya. Dalam istilah David Harvey, ini adalah bentuk ‘accumulation by dispossession’ yang dilembagakan: alam dieksploitasi, risiko disosialisasikan, dan ketika bencana terjadi, negara hadir sebagai penyelamat tanpa menyentuh akar persoalan.
Banjir Sumatra 2025 menelanjangi kontradiksi ini secara telak. Tidak ada kekurangan data, peringatan ilmiah, dan pengalaman. Sebaliknya, ia memperlihatkan kelebihan kompromi politik. Daerah aliran sungai yang telah lama kritis tetap dibuka untuk perkebunan dan pertambangan karena izin-izin tersebut menopang pendapatan daerah, pembiayaan politik lokal, dan jaringan patronase.
Dalam struktur desentralisasi Indonesia, kepala daerah menjadi simpul kunci antara kapital dan negara. Risiko ekologis dinegosiasikan dalam siklus elektoral jangka pendek, sementara dampaknya ditanggung masyarakat dalam jangka panjang. Di sinilah bencana harus dibaca sebagai mekanisme distribusi ketimpangan.
Kelompok yang paling diuntungkan dari ekstraksi sumber daya hampir selalu memiliki kapasitas untuk menghindari dampak terburuk bencana, baik melalui lokasi geografis, akses terhadap asuransi, maupun koneksi politik. Sebaliknya, kelompok yang paling rentan adalah mereka yang hidup di wilayah marginal, bergantung pada ekosistem lokal, dan memiliki sedikit daya tawar politik.
Banjir Sumatra 2025 bukan sekadar peristiwa hidrometeorologis, melainkan ekspresi spasial dari ketimpangan kelas.
Negara, dalam konteks ini, tidak sepenuhnya absen. Ia hadir dengan aparat, bantuan, dan narasi empati tetapi kehadirannya bersifat kuratif, bukan preventif.
Ini mencerminkan apa yang oleh James Ferguson disebut sebagai ‘anti-politics machine’: persoalan struktural dipresentasikan sebagai masalah teknis yang dapat diselesaikan melalui koordinasi, logistik, dan manajemen. Pertanyaan tentang siapa yang mendapat izin, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan sengaja didepolitisasi.
Peran militer dalam penanganan bencana memperkuat logika ini. Pada tsunami Aceh, dominasi militer dapat dimaklumi karena situasi konflik dan kehancuran total. Namun dua dekade kemudian, kembalinya militer sebagai tulang punggung respons banjir menunjukkan kegagalan negara membangun kapasitas sipil yang setara. Lebih dari itu, ia menormalisasi tata kelola darurat sebagai modus operandi. Bencana menjadi panggung bagi negara untuk menunjukkan kapasitas koersif dan logistiknya, sementara diskusi tentang pencegahan struktural kembali ditunda.
Solidaritas sosial, yang sering dipuji sebagai kekuatan khas Indonesia, dalam kerangka ekonomi politik memiliki sisi gelap. Gotong royong, donasi publik, dan relawan berfungsi sebagai buffer sosial yang menyerap dampak dari kegagalan kebijakan. Solidaritas memungkinkan negara untuk tetap mempertahankan legitimasi tanpa harus melakukan reformasi yang mengganggu kepentingan ekonomi dominan. Dalam bahasa Gramsci, ini adalah hegemoni yang bekerja secara halus: konsensus dibangun melalui emosi kolektif, bukan perubahan struktural.
Pembelajaran kebijakan pasca-Aceh juga menunjukkan bias temporal yang kuat. Negara belajar dari bencana yang sudah terjadi, bukan dari risiko yang sedang tumbuh. Sistem peringatan tsunami diperkuat, tetapi adaptasi terhadap perubahan iklim berjalan lambat karena implikasinya terlalu politis. Mengendalikan deforestasi berarti menantang korporasi besar dan elite lokal. Menata ulang tata ruang berarti mengganggu investasi. Dalam ekonomi politik Indonesia, pencegahan bencana sering kali lebih mahal secara politik daripada penanganan pascabencana.
Banjir Sumatra 2025 dengan demikian bukan kegagalan pembelajaran, melainkan kegagalan keberanian politik. Negara mengetahui risikonya, tetapi memilih untuk hidup dengannya sampai risiko itu meledak menjadi krisis. Ketika krisis terjadi, narasi darurat menggantikan diskusi tentang tanggung jawab. Penangguhan izin dan pencabutan konsesi dilakukan secara reaktif, sering kali bersifat simbolik, dan jarang menyentuh struktur kepemilikan dan kekuasaan yang lebih dalam.
Perbandingan dengan tsunami Aceh memperjelas pergeseran ini. Pada 2004, negara dapat mengklaim ketidaksiapan sebagai alasan. Pada 2025, alasan tersebut tidak lagi tersedia tetapi yang tersisa adalah pertanyaan tentang pilihan. Dalam dunia yang semakin terdampak perubahan iklim, ketidaktahuan bukan lagi pembelaan yang sah. Kegagalan mencegah bencana yang dapat diprediksi merupakan bentuk kelalaian politik.
Jika ketangguhan didefinisikan sebagai kemampuan untuk pulih dan melanjutkan pertumbuhan, maka Indonesia mungkin dapat mengklaim kemajuan. Namun jika ketangguhan dimaknai sebagai kemampuan untuk mengurangi risiko secara struktural dan adil, maka kemajuan tersebut bersifat semu. Negara kuat dalam respons, lemah dalam pencegahan; dermawan dalam retorika, kompromistis dalam kebijakan; hadir dalam krisis, absen dalam tata kelola sehari-hari.
Pertanyaan yang harus diajukan bukan lagi bagaimana mempercepat distribusi bantuan atau memperbaiki koordinasi saat bencana, melainkan siapa yang diuntungkan dari model pembangunan yang terus memproduksi bencana. Selama pertanyaan ini tidak dijawab secara jujur, bencana akan terus berfungsi sebagai mekanisme koreksi brutal terhadap ilusi stabilitas.
Indonesia mungkin akan semakin mahir mengelola krisis, tetapi tanpa perubahan ekonomi politik yang mendasar, krisis itu sendiri akan terus diproduksi. Dalam pengertian ini, banjir Sumatra 2025 bukan sekadar peringatan, melainkan dakwaan. Ia menuduh negara bukan karena tidak tahu, tetapi karena terlalu lama tahu dan tetap memilih diam.
Tulisan ini merupakan positioning paper untuk international seminar, ‘From Disaster to Resilience: Governance, Public Policy & National Solidarity’ di STISNU Kota Tangerang. (Mk)







