Merdeka Belajar yang Bermakna: Menyelaraskan Kurikulum, Deep Learning, dan Asesmen

Serang, Sundapost.co.id – Menyelaraskan Kurikulum Merdeka, Deep Learning, dan Sistem Asesmen
Pendidikan selalu menjadi cermin dinamika masyarakat dan kebutuhan zaman. Di era modern ini, Kurikulum Merdeka muncul sebagai salah satu upaya untuk menjawab tantangan tersebut, menawarkan pembelajaran yang lebih fleksibel, kontekstual, dan berpusat pada peserta didik. Namun, implementasinya tidak bisa dilepaskan dari dua elemen penting lainnya: deep learning dan sistem asesmen, yang berfungsi untuk memastikan proses belajar menghasilkan pemahaman mendalam, bukan sekadar hafalan atau kepatuhan administratif.
Sebagai seorang pendidik yang telah aktif lebih dari dua dekade dan juga manajer sekolah, saya menyaksikan sendiri bagaimana pergantian kurikulum seringkali menimbulkan kebingungan di lapangan. Guru-guru harus menyesuaikan metode pengajaran, orang tua menuntut hasil yang nyata, dan siswa harus beradaptasi dengan pola belajar baru. Kurikulum Merdeka menekankan kebebasan belajar, fleksibilitas jam pelajaran, dan pemberian proyek kontekstual, tetapi pertanyaannya adalah: apakah sistem kita siap untuk mendukung pembelajaran yang lebih mendalam dan berkelanjutan?
Di sinilah konsep deep learning menjadi sangat relevan. Deep learning dalam pendidikan bukan tentang kecanggihan teknologi semata, tetapi tentang kemampuan siswa untuk memahami, menghubungkan, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata. Dari pengalaman saya membimbing guru di sekolah swasta, saya menyadari bahwa deep learning hanya bisa tercapai bila guru benar-benar memahami tujuan pembelajaran dan mampu merancang aktivitas yang menantang, relevan, dan interaktif.
Tidak cukup hanya memberikan materi dan meminta siswa menghafal, karena itu hanya menghasilkan pembelajaran dangkal. Misalnya, dalam mata pelajaran sejarah, deep learning terjadi ketika siswa tidak hanya menghafal tanggal dan tokoh, tetapi mampu menganalisis sebab-akibat peristiwa sejarah dan mengaitkannya dengan isu kontemporer.
Sistem asesmen menjadi ujung tombak dalam memastikan tujuan Kurikulum Merdeka dan deep learning tercapai. Asesmen yang tradisional, berbasis tes pilihan ganda semata, seringkali tidak mampu menangkap kemampuan berpikir kritis, kreativitas, atau pemecahan masalah siswa. Oleh karena itu, pendekatan penilaian autentik dan proyek kolaboratif perlu dikembangkan.
Dalam pengalaman saya sebagai manajer sekolah, penerapan asesmen berbasis proyek membawa perubahan signifikan: guru menjadi lebih kreatif dalam mendesain tugas, siswa lebih termotivasi karena melihat hubungan antara pelajaran dan kehidupan nyata, dan orang tua akhirnya memahami bahwa pembelajaran tidak selalu diukur dari nilai angka semata.
Namun, menyelaraskan ketiganya bukan tanpa tantangan. Di tingkat operasional sekolah, guru sering menghadapi beban administratif yang berat, sementara orang tua masih menuntut bukti konkret berupa nilai. Di sinilah pengalaman manajerial saya berperan: penting untuk membangun komunikasi yang jelas antara guru, siswa, dan orang tua mengenai tujuan dan manfaat Kurikulum Merdeka dan deep learning. Menetapkan standar asesmen yang transparan, memberikan pelatihan untuk guru dalam desain pembelajaran mendalam, dan membangun sistem evaluasi yang berkelanjutan menjadi kunci agar seluruh ekosistem pendidikan berjalan selaras.
Selain itu, teknologi bisa menjadi pendukung, bukan pengganti. Pemanfaatan platform digital untuk monitoring proyek, diskusi daring, atau evaluasi kolaboratif dapat membantu guru dan siswa menilai perkembangan secara lebih holistik. Dari pengalaman saya, integrasi teknologi yang tepat tidak hanya meringankan beban administratif, tetapi juga memperluas ruang kreatif guru dan siswa untuk belajar lebih mendalam. Deep learning akan lebih efektif bila siswa dapat mengakses sumber belajar yang beragam, berdiskusi dengan teman sebaya, dan menerima umpan balik secara real-time.
Di sisi lain, penting juga untuk memahami konteks sosial dan budaya siswa. Kurikulum Merdeka memberi kebebasan, tetapi tidak semua sekolah memiliki sumber daya atau lingkungan belajar yang sama. Sebagai manajer, saya kerap menghadapi perbedaan kesiapan antara sekolah di kota besar dengan sekolah di daerah pinggiran. Menyelaraskan kurikulum, deep learning, dan asesmen harus mempertimbangkan kondisi ini: kebijakan yang ideal perlu diadaptasi agar relevan dengan kondisi lokal, tanpa mengurangi esensi pembelajaran yang bermakna.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa kunci sukses penyelarasan ini adalah kolaborasi dan refleksi berkelanjutan. Guru perlu berbagi praktik terbaik, siswa perlu diberi ruang untuk belajar dari kesalahan, dan manajemen sekolah harus menjadi fasilitator yang mendukung inovasi, bukan hanya pengawas administratif. Dengan cara ini, Kurikulum Merdeka tidak sekadar menjadi dokumen formal, deep learning tidak hanya jargon pendidikan, dan sistem asesmen tidak hanya alat pengukur angka, tetapi ketiganya membentuk ekosistem belajar yang utuh.
Kesimpulannya, menyelaraskan Kurikulum Merdeka, deep learning, dan sistem asesmen merupakan tantangan sekaligus peluang besar bagi pendidikan di Indonesia. Pengalaman saya sebagai pendidik dan manajer sekolah mengajarkan bahwa keberhasilan tidak datang dari teori semata, tetapi dari praktik yang konsisten, kolaboratif, dan reflektif. Bila ketiganya berjalan selaras, kita tidak hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga kreatif, kritis, dan siap menghadapi tantangan dunia nyata. Inilah makna sejati “merdeka belajar”: pembelajaran yang memberi kebebasan, mendalam, dan bermakna, sekaligus terukur dengan cara yang adil dan kontekstual. (Red)







