Sumut

Ketimpangan Sosial Ekonomi Sebagai Pendorong Perubahan Tinjau Teori Karl Marx Dan Ralf Dahrendorf Pada Fenomena Urbanisasi

MEDAN SUMUT, Sundapost.co.id – Seorang Mahasiswa menuangkan aspirasinya dan tulisanya, beliau bernama Emiea Aneldra Dyouna Barus tercatat sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Universitas Sumatera Utara (USU).

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen Pengampu :
Dr. Rosmalinda, S.H., LLM
Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum

ABSTRAK
Urbanisasi merupakan salah satu fenomena sosial yang paling menonjol dalam masyarakat
modern, di mana perpindahan penduduk dari desa ke kota sering kali diiringi oleh meningkatnya
ketimpangan sosial.

Ketimpangan tersebut tampak pada perbedaan akses terhadap pekerjaan,
pendidikan, dan tempat tinggal yang layak antara kelompok masyarakat kelas bawah dan kelas
atas. Dalam konteks teori sosial, Karl Marx dan Ralf Dahrendorf memberikan landasan konseptual
yang kuat untuk memahami dinamika tersebut. Bagi Marx, urbanisasi merupakan manifestasi dari
kapitalisme yang memperdalam jurang antara kaum borjuis dan proletar, sedangkan bagi
Dahrendorf, ketegangan sosial yang muncul akibat ketimpangan adalah faktor penting yang
memicu perubahan sosial.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
pustaka, bertujuan menelaah urbanisasi sebagai arena konflik kelas dan otoritas yang mendorong
transformasi sosial. Hasil kajian menunjukkan bahwa urbanisasi bukan sekadar proses ekonomi
atau demografis, tetapi juga arena pertentangan kepentingan dan kekuasaan, di mana ketimpangan
menjadi energi perubahan struktural masyarakat modern.

PENDAHULUAN
Urbanisasi merupakan gejala sosial yang tidak dapat dihindari dalam proses modernisasi
dan pembangunan nasional. Di Indonesia, arus urbanisasi meningkat tajam terutama sejak masa
industrialisasi dan berkembangnya kawasan metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Fenomena ini mencerminkan perubahan struktur ekonomi dari agraris menuju industrial dan jasa,
namun juga menimbulkan konsekuensi sosial berupa meningkatnya ketimpangan antara
masyarakat kota dan desa, serta antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal.

- advertisement -

Dalam kerangka teori sosiologi klasik, Karl Marx memandang urbanisasi sebagai bagian
dari proses kapitalisme yang menempatkan kaum pekerja (proletariat) dalam posisi subordinat
terhadap pemilik modal (borjuis). Kota menjadi pusat akumulasi kapital sekaligus arena
eksploitasi tenaga kerja, di mana buruh menjual tenaga mereka untuk mempertahankan hidup.

Marx menegaskan bahwa konflik antara kedua kelas tersebut merupakan motor penggerak utama
perubahan sosial. Ketimpangan yang lahir dari sistem kapitalis tidak sekadar menciptakan
penderitaan sosial, tetapi juga mendorong kesadaran kelas yang berujung pada revolusi dan
restrukturisasi tatanan sosial.

Sementara itu, Ralf Dahrendorf memberikan perspektif berbeda dengan menekankan peran
otoritas dan kekuasaan dalam melahirkan konflik sosial. Ia berpendapat bahwa setiap struktur
sosial mengandung hubungan dominasi dan subordinasi yang berpotensi melahirkan pertentangan.

Dalam konteks urbanisasi, distribusi kekuasaan antara pemerintah kota, pengembang, dan
masyarakat miskin menciptakan ketegangan sosial yang dapat memicu perubahan institusional.
Bagi Dahrendorf, konflik tidak harus dipandang negatif, sebab ia merupakan mekanisme penting
untuk mencapai integrasi dan pembaruan sosial.

Urbanisasi juga memperlihatkan kontradiksi yang tajam antara kemajuan ekonomi dan
ketimpangan sosial. Di satu sisi, kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan teknologi

Di sisi lain, muncul pemukiman kumuh, kemacetan, pengangguran, dan kemiskinan urban.

Kondisi
ini mempertegas analisis Marx tentang kontradiksi internal kapitalisme yang tidak pernah tuntas.

Di Indonesia, ketimpangan antara kawasan elit perkotaan dan wilayah kumuh (slum area) menjadi
contoh konkret bagaimana pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan
kesejahteraan.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah ketimpangan sosial akibat urbanisasi sebagai
pendorong perubahan sosial, dengan meninjau teori Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Dengan
memadukan kedua teori tersebut, penulis berupaya menunjukkan bahwa konflik sosial yang timbul
dari ketimpangan bukan sekadar gejala destruktif, melainkan bagian dari proses dialektika menuju
perubahan struktural masyarakat. Kajian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman baru
terhadap realitas sosial urban di Indonesia, serta membuka ruang refleksi mengenai pentingnya
pemerataan sosial dalam proses pembangunan kota.

2. KERANGKA TEORITIS

A. Teori Konflik dan Kelas dalam Perspektif Karl Marx
Karl Marx merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah ilmu sosial
modern. Pemikiran Marx berangkat dari analisis terhadap struktur ekonomi masyarakat kapitalis
yang menurutnya ditandai oleh adanya pertentangan antara kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas
proletar (pekerja).

Dalam pandangan Marx, masyarakat selalu berada dalam perjuangan kelas
(class struggle), di mana satu kelas berusaha mempertahankan kekuasaan ekonominya sementara
kelas lain berusaha membebaskan diri dari penindasan.

Bagi Marx, seluruh sejarah masyarakat manusia adalah sejarah pertentangan kelas.
Dalam
sistem kapitalisme, ketimpangan muncul karena kaum borjuis menguasai alat-alat produksi —
pabrik, tanah, dan modal — sedangkan kaum proletar hanya memiliki tenaga kerja yang harus
dijual untuk bertahan hidup. Hubungan antara kedua kelas ini bersifat eksploitatif karena nilai
lebih (surplus value) yang dihasilkan oleh buruh dalam proses produksi diambil oleh kapitalis
sebagai keuntungan. Ketimpangan inilah yang menjadi akar dari konflik sosial dalam masyarakat
kapitalis modern.

Marx memandang bahwa urbanisasi merupakan bagian dari mekanisme ekspansi
kapitalisme. Kota menjadi ruang di mana konsentrasi industri, buruh, dan modal terjadi secara
intensif. Fenomena ini memperkuat polarisasi kelas karena proses industrialisasi di wilayah
perkotaan menciptakan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang.
Urbanisasi bukan hanya
migrasi penduduk, melainkan juga proses pemindahan tenaga produktif dari sektor agraris ke

3
di sisi lain, muncul pemukiman kumuh, kemacetan, pengangguran, dan kemiskinan urban. Kondisi
ini mempertegas analisis Marx tentang kontradiksi internal kapitalisme yang tidak pernah tuntas.
Di Indonesia, ketimpangan antara kawasan elit perkotaan dan wilayah kumuh (slum area) menjadi
contoh konkret bagaimana pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan
kesejahteraan.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah ketimpangan sosial akibat urbanisasi sebagai
pendorong perubahan sosial, dengan meninjau teori Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Dengan
memadukan kedua teori tersebut, penulis berupaya menunjukkan bahwa konflik sosial yang timbul
dari ketimpangan bukan sekadar gejala destruktif, melainkan bagian dari proses dialektika menuju
perubahan struktural masyarakat. Kajian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman baru
terhadap realitas sosial urban di Indonesia, serta membuka ruang refleksi mengenai pentingnya
pemerataan sosial dalam proses pembangunan kota.
2. KERANGKA TEORITIS
A. Teori Konflik dan Kelas dalam Perspektif Karl Marx
Karl Marx merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah ilmu sosial
modern. Pemikiran Marx berangkat dari analisis terhadap struktur ekonomi masyarakat kapitalis
yang menurutnya ditandai oleh adanya pertentangan antara kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas
proletar (pekerja).

Dalam pandangan Marx, masyarakat selalu berada dalam perjuangan kelas
(class struggle), di mana satu kelas berusaha mempertahankan kekuasaan ekonominya sementara
kelas lain berusaha membebaskan diri dari penindasan.
Bagi Marx, seluruh sejarah masyarakat manusia adalah sejarah pertentangan kelas.

Dalam
sistem kapitalisme, ketimpangan muncul karena kaum borjuis menguasai alat-alat produksi —
pabrik, tanah, dan modal — sedangkan kaum proletar hanya memiliki tenaga kerja yang harus
dijual untuk bertahan hidup. Hubungan antara kedua kelas ini bersifat eksploitatif karena nilai
lebih (surplus value) yang dihasilkan oleh buruh dalam proses produksi diambil oleh kapitalis
sebagai keuntungan.

Ketimpangan inilah yang menjadi akar dari konflik sosial dalam masyarakat
kapitalis modern.
Marx memandang bahwa urbanisasi merupakan bagian dari mekanisme ekspansi
kapitalisme. Kota menjadi ruang di mana konsentrasi industri, buruh, dan modal terjadi secara
intensif. Fenomena ini memperkuat polarisasi kelas karena proses industrialisasi di wilayah
perkotaan menciptakan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang.

Urbanisasi bukan hanya
migrasi penduduk, melainkan juga proses pemindahan tenaga produktif dari sektor agraris ke
sektor industri dan jasa yang dikendalikan oleh kapital. Dengan demikian, urbanisasi mempercepat
terbentuknya kelas pekerja perkotaan (urban working class) yang bergantung pada sistem upah.
Dalam konteks ini, ketimpangan sosial menjadi konsekuensi langsung dari cara produksi
kapitalis. Kaum proletar tidak memiliki akses terhadap sarana produksi maupun hasil produksinya
sendiri, sedangkan kaum borjuis terus memperluas kekuasaannya melalui akumulasi kapital. Marx
menyebut keadaan ini sebagai bentuk alienasi (Entfremdung), yakni keterasingan manusia dari
hasil kerjanya, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri.

Buruh dalam sistem kapitalisme
tidak lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, melainkan demi keuntungan orang lain.
Marx juga menyoroti bahwa negara dan hukum berfungsi untuk melanggengkan dominasi
kelas borjuis. Menurutnya, hukum dan lembaga politik tidak bersifat netral, melainkan alat bagi
kelas penguasa untuk mempertahankan struktur ekonomi yang ada.

Dalam masyarakat kapitalis,
pemerintah kota dan kebijakan pembangunan urban sering kali berpihak kepada kepentingan
investor dan pengembang besar, sementara masyarakat miskin kota terpinggirkan. Fenomena
penggusuran permukiman, kenaikan harga tanah, serta gentrifikasi menjadi wujud nyata dari
fungsi negara sebagai penjaga kepentingan borjuis.
Namun demikian, bagi Marx, ketimpangan ini tidak bersifat statis. Ia justru menjadi motor
perubahan sosial, karena semakin besar eksploitasi dan alienasi, semakin tinggi pula potensi
kesadaran kelas di kalangan proletariat.

Ketika kesadaran ini mencapai titik kritis, masyarakat
akan mengalami revolusi sosial yang menggantikan struktur ekonomi lama dengan sistem baru
yang lebih adil. Dalam konteks urbanisasi, revolusi ini dapat berupa perubahan struktur sosial kota,
gerakan masyarakat miskin kota, atau kebijakan redistribusi ruang yang lebih egaliter.

B. Teori Konflik Sosial Ralf Dahrendorf

Berbeda dengan Marx yang menitikberatkan konflik pada kepemilikan alat produksi, Ralf
Dahrendorf mengembangkan teori konflik modern yang berfokus pada hubungan kekuasaan dan
otoritas.
Menurut Dahrendorf, setiap masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan berbeda berdasarkan posisi mereka dalam struktur otoritas. Dengan demikian, konflik
sosial tidak hanya muncul dari aspek ekonomi, tetapi juga dari distribusi kekuasaan di berbagai
institusi sosial.

Dahrendorf berpendapat bahwa masyarakat memiliki dua sisi yang saling bertentangan
namun saling melengkapi, yakni konflik dan konsensus.

Konsensus diperlukan untuk menjaga
keteraturan sosial, sedangkan konflik diperlukan untuk membawa perubahan. Setiap sistem sosial
selalu mengandung potensi ketegangan antara mereka yang berkuasa (those who command) dan
mereka yang dikuasai (those who obey).

Dalam sistem perkotaan, misalnya, hubungan antara
pemerintah daerah, pengembang properti, dan masyarakat miskin kota mencerminkan pola otoritas
ini.

Dalam bukunya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), Dahrendorf
menyebut bahwa otoritas (authority) merupakan sumber utama konflik sosial.
Siapa pun yang
memiliki otoritas cenderung mempertahankan status quo, sedangkan pihak yang berada di bawah
otoritas berusaha menantang dan mengubahnya. Hal ini melahirkan dua jenis kelompok sosial:
kelompok yang berkuasa dan kelompok yang tunduk. Dari hubungan inilah muncul quasi group
(kelompok semu) dan interest group (kelompok kepentingan), yang pada tahap lanjut berkembang
menjadi conflict group (kelompok konflik).

Dalam konteks urbanisasi, interest group dapat berupa kelompok pengembang dan elite
politik kota yang memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan tata ruang, sementara masyarakat
miskin kota atau pekerja informal berperan sebagai conflict group yang memperjuangkan hak-hak
mereka atas tempat tinggal dan pekerjaan. Ketika kepentingan antara dua kelompok ini tidak
seimbang, konflik sosial menjadi tak terhindarkan. Namun, menurut Dahrendorf, konflik yang
dilembagakan melalui mekanisme hukum dan dialog publik dapat menghasilkan perubahan sosial
yang konstruktif.

Selain itu, Dahrendorf memperkenalkan konsep “imperatively coordinated associations”,
yakni organisasi sosial yang dibangun di atas hubungan kekuasaan yang memaksa, seperti lembaga
pemerintah, perusahaan, atau birokrasi.
Dalam sistem urban, struktur ini tampak pada lembaga
pemerintahan kota yang memiliki otoritas atas perencanaan ruang, distribusi tanah, dan kebijakan
pembangunan. Ketika kebijakan tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu, maka muncul
resistensi sosial yang menuntut redistribusi kekuasaan.

Dahrendorf menolak pandangan fungsionalisme struktural yang menekankan
keseimbangan sosial. Ia menegaskan bahwa perubahan sosial justru lahir dari konflik yang
terlembagakan secara sah, bukan dari harmoni yang statis.

Dengan kata lain, konflik adalah
kekuatan pendorong masyarakat menuju pembaruan. Dalam konteks urbanisasi di Indonesia,
berbagai bentuk protes warga terhadap penggusuran atau kebijakan pembangunan eksklusif dapat
dilihat sebagai manifestasi dari teori Dahrendorf — di mana konflik menjadi sarana artikulasi
kepentingan dan sumber transformasi sosial.

C. Relevansi Teori Marx dan Dahrendorf terhadap Ketimpangan Sosial Perkotaan
Teori Marx dan Dahrendorf memiliki titik temu dalam melihat konflik sebagai pendorong
perubahan sosial, meskipun berbeda dalam aspek yang ditekankan. Marx menyoroti dimensi
ekonomi dan kepemilikan alat produksi, sedangkan Dahrendorf menyoroti dimensi kekuasaan dan
otoritas. Namun, keduanya sepakat bahwa masyarakat tidak dapat dipahami tanpa melihat relasi
dominasi dan ketimpangan di dalamnya.19
Dalam realitas urban modern, ketimpangan sosial muncul dalam bentuk baru: gentrifikasi,
segregasi spasial, marginalisasi ekonomi, dan ketidakadilan dalam akses terhadap ruang publik.
Proses urbanisasi yang dikendalikan oleh logika kapitalisme — seperti pembangunan apartemen
mewah di tengah kawasan kumuh — memperlihatkan bagaimana kepentingan ekonomi dan
kekuasaan bersinggungan.20Marx akan menyebutnya sebagai ekspresi eksploitasi kapitalis,
sementara Dahrendorf akan memahaminya sebagai ketegangan struktural akibat distribusi otoritas
yang timpang.
Dengan demikian, baik Marx maupun Dahrendorf memberikan landasan teoritis yang kuat
untuk memahami urbanisasi sebagai arena konflik kelas dan otoritas. Ketimpangan sosial yang
timbul bukan sekadar akibat dari kesalahan kebijakan, melainkan bagian inheren dari sistem sosial
yang sedang berkembang. Oleh karena itu, konflik sosial dalam proses urbanisasi perlu dilihat
bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai mekanisme dialektis menuju perubahan sosial yang lebih
adil dan inklusif.

3. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library
research). Pendekatan ini dipilih karena penelitian bertujuan untuk memahami makna dan konsep
yang mendasari fenomena sosial dalam hal ini, ketimpangan sosial sebagai pendorong perubahan
pada proses urbanisasi melalui tinjauan terhadap teori Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk menafsirkan fenomena sosial secara
mendalam dengan menelusuri hubungan antara struktur sosial, ekonomi, dan kekuasaan yang
melatarbelakangi perubahan masyarakat urban.

Penelitian ini tidak bertujuan mengukur
hubungan kuantitatif antar-variabel, melainkan berupaya menggali makna dan konteks sosial di
balik fenomena urbanisasi yang sarat ketimpangan.
Pendekatan ini juga relevan dengan karakter teori Marx dan Dahrendorf yang bersifat
interpretatif-dialektis, di mana analisis tidak hanya berhenti pada deskripsi empiris, tetapi juga berusaha memahami dinamika kontradiksi sosial yang menjadi penggerak perubahan.

Dengan
demikian, metode kualitatif dipandang paling sesuai untuk menelaah konsep-konsep abstrak
seperti “kelas sosial”, “otoritas”, dan “konflik”, yang tidak dapat direduksi ke dalam angka statistik
semata.
Dalam kerangka penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai instrumen utama penelitian,
karena proses interpretasi data sangat bergantung pada kemampuan peneliti memahami teks dan
konteks sosial.

Oleh sebab itu, peneliti harus memiliki kepekaan teoretis dalam mengaitkan
realitas empiris urbanisasi dengan konsep-konsep konflik sosial dari Marx dan Dahrendorf.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

1) Data Primer
Data primer dalam penelitian ini berupa karya-karya utama Karl Marx dan Ralf
Dahrendorf, yang menjadi fondasi teori konflik sosial. Di antara karya utama Marx yang
digunakan adalah Das Kapital (1867), Economic and Philosophic Manuscripts (1844), dan The
Communist Manifesto (1848), sementara dari Dahrendorf digunakan buku Class and Class
Conflict in Industrial Society (1959). Karya-karya ini dianalisis untuk memahami konsep dasar
seperti kelas sosial, alienasi, otoritas, serta konflik sebagai sumber perubahan sosial.

2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur yang mendukung analisis, seperti bukubuku teori sosiologi modern, jurnal ilmiah, artikel akademik, serta dokumen-dokumen kebijakan
terkait fenomena urbanisasi di Indonesia. Misalnya karya David Harvey The Urban Experience
(1989), Saskia Sassen Cities in a World Economy (2018), dan Bernard Raho Teori Sosiologi
Modern (2007). Selain itu, data empiris berupa laporan BPS, kajian lembaga penelitian, dan
publikasi media juga digunakan untuk memperkaya konteks fenomena ketimpangan sosial di
perkotaan.

Sumber-sumber tersebut digunakan bukan untuk menghasilkan data numerik, melainkan sebagai
bahan analisis konseptual yang menggambarkan hubungan dialektis antara teori dan realitas sosial.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan
kajian pustaka. Menurut Soerjono Soekanto, metode dokumentasi merupakan cara untuk
memperoleh data dengan menelaah berbagai dokumen tertulis yang berkaitan dengan objek
penelitian.

Dalam konteks ini, peneliti mengumpulkan dan menelaah bahan pustaka yang relevan
dengan teori konflik sosial dan fenomena urbanisasi.
Tahapan pengumpulan data dilakukan melalui:
i. Inventarisasi literatur — Mengidentifikasi dan mengumpulkan buku, jurnal, dan artikel
akademik yang relevan dengan teori Marx, Dahrendorf, dan kajian urbanisasi.
ii. Klasifikasi sumber — Mengelompokkan literatur berdasarkan tema seperti teori konflik,
ketimpangan sosial, perubahan sosial, dan studi perkotaan.
iii. Kaji banding teoritik — Melakukan pembacaan kritis terhadap perbedaan pendekatan
Marx dan Dahrendorf, serta relevansinya terhadap fenomena sosial kontemporer.
iv. Analisis interpretatif — Menafsirkan makna teks dan menghubungkannya dengan realitas
empiris urbanisasi di Indonesia.
Dengan demikian, seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat tekstual dan
kontekstual, diolah melalui interpretasi teoritis yang sistematis.
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif-analitis dengan
pendekatan dialektis. Menurut Sugiyono, analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan
fenomena secara faktual dan sistematis berdasarkan data yang diperoleh, sedangkan analisis
analitis bertujuan menafsirkan dan memahami makna di balik fakta tersebut.

Pendekatan dialektis dipilih karena relevan dengan karakter teori konflik. Dalam dialektika
sosial, setiap struktur sosial mengandung kontradiksi internal yang menjadi pendorong
perubahan.Peneliti menggunakan analisis dialektis untuk memahami bagaimana ketimpangan
sosial dalam urbanisasi tidak hanya menunjukkan ketidakseimbangan, tetapi juga menciptakan
potensi perubahan struktural.
Analisis dilakukan dalam beberapa tahap:
i. Reduksi Data — Menyeleksi dan menfokuskan data yang relevan dengan tujuan penelitian,
seperti kutipan teori, hasil penelitian terdahulu, dan kasus urbanisasi di Indonesia.
ii. Klasifikasi Konseptual — Mengelompokkan data ke dalam kategori analitis: (a) konsep
ketimpangan sosial, (b) konflik kelas (Marx), dan (c) konflik otoritas (Dahrendorf).
iii. Interpretasi Dialektis — Menafsirkan hubungan antar-konsep untuk melihat dinamika
kontradiksi sosial yang timbul dari proses urbanisasi.
iv. Sintesis Teoritis — Mengintegrasikan temuan interpretatif menjadi argumentasi bahwa
ketimpangan sosial merupakan pendorong perubahan struktural dalam masyarakat urban.

Melalui tahapan ini, peneliti dapat menjelaskan fenomena ketimpangan sosial bukan
sekadar akibat ekonomi, tetapi juga akibat distribusi kekuasaan dan otoritas yang timpang
sebagaimana dijelaskan dalam teori konflik.

4. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Urbanisasi sebagai Fenomena Sosial Modern
Urbanisasi merupakan salah satu proses sosial yang paling menonjol dalam masyarakat
modern. Menurut BPS (2023), lebih dari 57% penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah
perkotaan, dan angka ini diproyeksikan meningkat hingga 70% pada tahun 2045.Proses ini
menunjukkan adanya pergeseran besar-besaran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan
jasa. Namun, urbanisasi tidak hanya berarti pertambahan penduduk di kota, melainkan juga
perubahan struktur sosial, ekonomi, dan budaya secara menyeluruh.

Secara teoretis, urbanisasi dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari pembangunan
kapitalis.Pusat-pusat industri dan jasa yang tumbuh di kota menjadi magnet bagi tenaga kerja dari
desa, sehingga kota berfungsi sebagai ruang akumulasi kapital. Dalam perspektif Karl Marx,
proses ini mempertegas dominasi kelas borjuis yang menguasai alat produksi di kawasan urban,
sementara kaum proletar atau buruh kota harus menjual tenaga kerja mereka untuk bertahan
hidup.Akibatnya, kota menjadi simbol kemajuan sekaligus ketimpangan.

Urbanisasi di Indonesia juga menunjukkan karakter yang sama. Kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Bandung berkembang pesat, namun di sisi lain menghadapi masalah sosial
yang kompleks: munculnya kawasan kumuh, kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan
keterbatasan akses terhadap fasilitas publik.Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi di kota tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Fenomena inilah
yang menjadi dasar kajian Marx dan Dahrendorf dalam melihat ketimpangan sebagai motor
perubahan sosial.

B. Perspektif Karl Marx: Urbanisasi sebagai Ekspresi Kapitalisme
Dalam kerangka pemikiran Karl Marx, urbanisasi merupakan hasil dari modus produksi
kapitalis yang berorientasi pada akumulasi modal.Kapitalisme mendorong industrialisasi dan
ekspansi ekonomi yang berpusat di kota, di mana buruh dijadikan alat produksi untuk menciptakan
nilai lebih bagi pemilik modal. Dalam Das Kapital, Marx menjelaskan bahwa kapitalisme hanya
dapat bertahan jika terus melakukan ekspansi ruang ekonomi baru — termasuk melalui urbanisasi
dan pembangunan perkotaan

Kota dalam pandangan Marx bukanlah ruang netral; ia adalah arena pertentangan kelas.
Kaum borjuis menguasai alat-alat produksi seperti pabrik, tanah, dan modal investasi, sementara
kaum proletar hanya memiliki tenaga kerja yang harus dijual. Hubungan kerja ini bersifat
eksploitatif karena buruh tidak memperoleh nilai penuh dari hasil kerjanya. Ketimpangan antara
kedua kelas tersebut menimbulkan konflik sosial yang tidak dapat dihindari.

Fenomena gentrifikasi — yakni proses di mana wilayah kumuh diubah menjadi kawasan
elit melalui proyek-proyek pembangunan — dapat dijelaskan melalui teori Marx. Penggusuran
masyarakat miskin untuk memberi ruang bagi pembangunan apartemen, pusat bisnis, dan properti
mewah merupakan bentuk akumulasi primitif (primitive accumulation) yang disebut Marx sebagai
“perampasan tanah demi ekspansi kapital.”Dalam konteks ini, negara berperan sebagai instrumen
kelas penguasa yang memfasilitasi kepentingan ekonomi borjuis melalui kebijakan tata ruang, izin
pembangunan, dan investasi.

Akibatnya, urbanisasi di Indonesia melahirkan kelas pekerja urban yang teralienasi dari
hasil kerjanya dan dari ruang tempat tinggalnya. Buruh pabrik, pekerja informal, dan masyarakat
miskin kota hidup dalam kondisi marginal tanpa kepemilikan atas tanah dan rumah yang mereka
diami.Mereka menjadi simbol dari ketimpangan struktural yang dihasilkan oleh kapitalisme
modern. Bagi Marx, kesadaran terhadap kondisi penindasan ini akan melahirkan kesadaran kelas
(class consciousness) yang dapat memicu perubahan sosial revolusioner.
C. Perspektif Ralf Dahrendorf: Urbanisasi dan Konflik Otoritas
Berbeda dari Marx yang menekankan aspek ekonomi, Ralf Dahrendorf memandang
urbanisasi sebagai sistem sosial yang sarat dengan hubungan otoritas dan distribusi kekuasaan
yang timpang.Dalam masyarakat modern, perubahan sosial tidak hanya terjadi karena perbedaan
kelas ekonomi, tetapi juga karena perbedaan dalam akses terhadap kekuasaan dan pengaruh dalam
lembaga sosial.Menurut Dahrendorf, setiap struktur sosial memiliki dua sisi: mereka yang
berkuasa dan mereka yang dikuasai.Hubungan ini tidak selalu berhubungan langsung dengan
kepemilikan alat produksi, tetapi dapat muncul dalam berbagai bentuk organisasi — termasuk
pemerintahan kota, perusahaan, dan komunitas masyarakat. Dalam konteks urbanisasi, pihak
berkuasa misalnya adalah pemerintah kota, pengembang properti, dan investor, sementara pihak
yang dikuasai adalah masyarakat miskin kota, buruh, dan penduduk informal.

Konflik muncul ketika kedua pihak memiliki kepentingan yang bertentangan. Penguasa
berusaha mempertahankan status quo dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
sedangkan masyarakat yang dirugikan menuntut keadilan sosial, hak tempat tinggal, dan
partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.Dahrendorf menyebut situasi ini sebagai bentuk konflik terlembaga (institutionalized conflict) — yaitu konflik yang muncul dari struktur otoritas
yang ada, bukan dari pelanggaran individu.
Contoh konkret dapat dilihat pada kasus penggusuran di kawasan Bukit Duri (Jakarta) dan
Tamansari (Bandung), di mana masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut harus kehilangan
tempat tinggal demi proyek pembangunan kota modern.

Dalam kerangka teori Dahrendorf,
konflik ini adalah hasil dari relasi otoritas yang timpang antara pemerintah dan warga. Namun,
konflik semacam ini juga memiliki potensi positif jika dikelola secara demokratis melalui
mekanisme arbitrase, mediasi, dan negosiasi, sebagaimana disarankan Dahrendorf dalam
analisisnya tentang penyelesaian konflik.
Dengan demikian, konflik sosial dalam urbanisasi tidak dapat dipandang sebagai hambatan
pembangunan, tetapi sebagai proses dialektis yang mendorong masyarakat menuju perubahan
struktural yang lebih inklusif.
D. Ketimpangan Sosial: Dialektika antara Kelas dan Otoritas
Baik Marx maupun Dahrendorf sepakat bahwa ketimpangan sosial merupakan kondisi
yang tidak terhindarkan dalam setiap masyarakat, tetapi keduanya berbeda dalam cara memandang
sumber dan konsekuensinya. Bagi Marx, ketimpangan bersumber dari sistem ekonomi kapitalis
yang menempatkan sebagian kecil masyarakat sebagai pemilik alat produksi. Sedangkan bagi
Dahrendorf, ketimpangan muncul karena distribusi otoritas yang tidak merata dalam struktur
sosial.
Dalam konteks urbanisasi Indonesia, kedua pandangan ini saling melengkapi. Kapitalisme
perkotaan menciptakan ketimpangan ekonomi melalui kepemilikan modal dan properti, sementara
birokrasi pemerintahan memperkuat ketimpangan tersebut melalui distribusi kekuasaan yang tidak
adil.Akibatnya, masyarakat kelas bawah terpinggirkan baik secara ekonomi maupun politik.
Ketimpangan tersebut tampak nyata dalam tiga aspek utama:

i. Aspek Ekonomi — Perbedaan pendapatan antara kelompok profesional dan pekerja
informal di kota sangat lebar. Data BPS menunjukkan bahwa pendapatan 20% kelompok
terkaya mencapai 46% dari total pendapatan nasional, sedangkan 40% masyarakat
terbawah hanya menguasai 17%.36
ii. Aspek Spasial — Gentrifikasi menyebabkan pemisahan fisik antara kawasan elit dan
kawasan kumuh. Masyarakat miskin sering digusur ke pinggiran kota, jauh dari akses
pekerjaan dan fasilitas publik.

iii. Aspek Politik dan Otoritas — Masyarakat miskin kota memiliki posisi tawar yang lemah
dalam kebijakan publik. Partisipasi mereka sering kali bersifat simbolik, sementara
keputusan strategis ditentukan oleh elite politik dan pengembang besar.
Dalam pandangan Marx, kondisi ini merupakan ekspresi dari kontradiksi kapitalisme yang
pada akhirnya akan menghasilkan perubahan revolusioner. Sedangkan bagi Dahrendorf, konflik
semacam ini dapat dikelola secara konstruktif melalui institusionalisasi konflik, seperti dialog
publik, partisipasi warga, dan kebijakan redistribusi sosial.
E. Konflik Sosial sebagai Pendorong Perubahan
Konflik sosial dalam urbanisasi tidak selalu destruktif. Sejalan dengan gagasan
Dahrendorf, konflik justru dapat menjadi mekanisme pembaruan sosial (social innovation
mechanism). Dalam masyarakat yang terbuka, konflik antara kepentingan kelompok dominan dan
subordinat dapat melahirkan reformasi kebijakan publik yang lebih adil.
Contoh nyata terlihat pada berbagai gerakan sosial perkotaan, seperti Urban Poor
Consortium (UPC), Kampung Akuarium Movement, dan Kampung Kota Bersama, yang berhasil
memperjuangkan hak atas tempat tinggal dan partisipasi masyarakat miskin dalam perencanaan
kota.Gerakan-gerakan ini merupakan bentuk artikulasi konflik yang mengubah relasi kekuasaan
antara negara dan warga.
Dengan kata lain, ketimpangan sosial yang muncul dalam proses urbanisasi tidak hanya
menimbulkan penderitaan, tetapi juga menciptakan kesadaran baru tentang hak-hak warga kota.
Proses ini menunjukkan bahwa konflik sosial — jika diarahkan secara produktif — merupakan
pendorong perubahan menuju keadilan sosial dan demokrasi urban.
F. Implikasi Teoritis
Analisis terhadap fenomena urbanisasi berdasarkan teori Marx dan Dahrendorf
menghasilkan beberapa implikasi penting, Urbanisasi bukan sekadar proses ekonomi, tetapi juga
arena politik. Kota merupakan ruang perebutan kekuasaan antara modal, negara, dan masyarakat.
Ketimpangan sosial adalah kondisi struktural, bukan anomali. Ia lahir dari sistem kapitalis
dan distribusi otoritas yang tidak seimbang.

Konflik sosial bersifat produktif. Konflik yang
dikelola secara terbuka dapat menjadi sarana untuk mencapai keadilan dan perubahan
sosial.Perubahan sosial bersifat dialektis. Ketimpangan menciptakan konflik, konflik
memunculkan reformasi, dan reformasi membuka jalan bagi struktur sosial baru yang lebih
inklusif. Dengan demikian, teori Marx dan Dahrendorf tetap relevan dalam menjelaskan dinamika
masyarakat urban Indonesia, di mana modernisasi berjalan berdampingan dengan ketimpangan
sosial yang kompleks.

Urbanisasi di Indonesia telah memperlihatkan perubahan besar dalam struktur sosial dan
ekonomi masyarakat, terutama dalam pergeseran dari sektor agraris ke sektor industri dan jasa.
Namun, proses ini tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga memperdalam jurang
ketimpangan sosial ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.39Di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Bandung, pertumbuhan ekonomi yang pesat justru diiringi oleh
meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan. Sementara
kelompok elit menikmati akses terhadap lapangan kerja formal, pendidikan, dan tempat tinggal
layak, kelompok masyarakat kelas bawah hidup dalam kondisi kumuh dan keterbatasan fasilitas
publik.

Dalam pandangan Karl Marx, ketimpangan sosial ekonomi adalah konsekuensi langsung
dari sistem kapitalisme yang menempatkan kaum borjuis (pemilik modal) di posisi dominan dan
kaum proletar (buruh) dalam posisi subordinat. Kota menjadi pusat akumulasi kapital, di mana
tenaga kerja dieksploitasi demi keuntungan segelintir orang. Fenomena seperti gentrifikasi dan
penggusuran masyarakat miskin kota mencerminkan apa yang disebut Marx sebagai akumulasi
primitif, yakni perampasan ruang dan sumber daya demi ekspansi modal. Akibatnya, ketimpangan
sosial tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga melahirkan alienasi — keterasingan buruh dari
hasil kerja dan kehidupan sosialnya.

Sementara itu, Ralf Dahrendorf menyoroti ketimpangan dari aspek otoritas dan
kekuasaan. Dalam masyarakat modern, distribusi kekuasaan yang tidak seimbang antara
pemerintah, pengembang, dan warga miskin kota memunculkan pertentangan kepentingan yang
memicu konflik sosial. Ketimpangan sosial ekonomi di perkotaan bukan hanya masalah
pendapatan, melainkan juga masalah akses terhadap pengambilan keputusan dan sumber daya.

Masyarakat miskin kota seringkali tidak memiliki posisi tawar dalam kebijakan pembangunan,
sehingga mereka menjadi korban dari struktur otoritas yang timpang.

Ketimpangan sosial ekonomi ini tampak dalam berbagai bentuk perbedaan pendapatan
yang tajam, segregasi spasial antara kawasan elit dan kawasan kumuh, serta keterbatasan akses
masyarakat bawah terhadap pendidikan dan layanan publik. Namun, seperti ditegaskan baik oleh
Marx maupun Dahrendorf, konflik yang muncul akibat ketimpangan bukan semata-mata bersifat
destruktif. Sebaliknya, ia dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan sosial. Ketegangan antara
kelas sosial dan otoritas dapat mendorong lahirnya kesadaran baru, gerakan sosial, dan kebijakan yang lebih adil menjadikan ketimpangan bukan hanya sumber ketidakadilan, tetapi juga motor
transformasi menuju masyarakat yang lebih setara.

5, KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam perspektif Karl Marx, urbanisasi adalah manifestasi logis dari perkembangan
kapitalisme. Kota menjadi ruang produksi dan reproduksi kapital, tempat akumulasi modal
berlangsung melalui eksploitasi tenaga kerja. Ketimpangan sosial dalam masyarakat urban muncul
sebagai akibat langsung dari hubungan produksi yang timpang antara pemilik modal dan buruh.
Kaum proletar menjadi korban dari proses alienasi, terasing dari hasil kerja dan ruang hidup
mereka sendiri. Namun, kondisi inilah yang menurut Marx justru menumbuhkan kesadaran kelas
dan menjadi potensi revolusioner bagi perubahan sosial. Konflik kelas, dalam pandangan Marx,
bukanlah anomali, tetapi inti dari dinamika sejarah manusia.

Sementara itu, Ralf Dahrendorf melihat konflik dari sudut pandang yang lebih struktural
dan institusional. Ia berpendapat bahwa masyarakat modern selalu diwarnai oleh relasi otoritas
yang tidak seimbang antara mereka yang memegang kekuasaan dan mereka yang tunduk. Dalam
konteks urbanisasi, ketimpangan bukan hanya karena kepemilikan modal, tetapi juga karena akses
terhadap kekuasaan dan pengaruh politik dalam pengelolaan kota. Dahrendorf menegaskan bahwa
konflik yang dilembagakan — melalui mekanisme hukum, dialog publik, dan partisipasi
masyarakat — dapat menjadi kekuatan konstruktif yang membawa perubahan sosial dan reformasi
kelembagaan.

Kedua teori ini menunjukkan bahwa ketimpangan sosial tidak semata-mata destruktif,
tetapi juga berfungsi sebagai energi sosial yang menggerakkan perubahan. Ketika ketimpangan
ekonomi dan politik mencapai titik tertentu, masyarakat akan berusaha menyeimbangkannya
melalui protes, gerakan sosial, dan reformasi kebijakan. Di sinilah konflik menjadi mekanisme
dialektis yang mendorong masyarakat menuju tatanan sosial baru yang lebih adil dan inklusif.

Dalam konteks Indonesia modern, urbanisasi telah membawa dampak ambivalen. Di satu
sisi, ia meningkatkan produktivitas ekonomi dan membuka peluang kerja; di sisi lain, ia
menimbulkan segregasi sosial, kemiskinan struktural, dan keterpinggiran kelas bawah. Fenomena
seperti penggusuran warga miskin, gentrifikasi, dan ketimpangan akses terhadap fasilitas publik
menunjukkan relevansi teori Marx dan Dahrendorf. Urbanisasi tidak hanya menciptakan kota yang
“maju secara fisik”, tetapi juga kota yang timpang secara sosial. Maka, memahami ketimpangan
sosial sebagai pendorong perubahan menjadi kunci bagi perumusan kebijakan pembangunan kota
yang berkeadilan.

B. Saran
1. Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu memandang konflik sosial dalam urbanisasi bukan sebagai hambatan
pembangunan, melainkan sebagai indikator adanya ketimpangan struktural yang perlu diatasi
melalui kebijakan partisipatif. Proses perencanaan kota hendaknya melibatkan masyarakat secara
langsung, terutama kelompok marginal, agar kebijakan tata ruang dan perumahan mencerminkan
kepentingan bersama, bukan semata kepentingan investor dan elite politik.

2. Bagi Akademisi dan Peneliti
Kajian teori Marx dan Dahrendorf perlu terus dikembangkan untuk memahami fenomena
urbanisasi kontemporer, termasuk transformasi digital, platform ekonomi, dan bentuk-bentuk baru
eksploitasi tenaga kerja urban. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan
interdisipliner, menggabungkan sosiologi, ekonomi politik, dan studi perkotaan untuk melihat
secara lebih holistik akar ketimpangan sosial.

3. Bagi Masyarakat Sipil dan Aktivis Urban
Masyarakat sipil perlu memperkuat kapasitas advokasi dan solidaritas untuk
memperjuangkan hak atas kota (right to the city), sebagaimana dikemukakan oleh David Harvey.
Konflik sosial dapat diarahkan menjadi gerakan transformasi sosial melalui pendidikan politik
warga, pembentukan komunitas kota mandiri, dan partisipasi aktif dalam kebijakan publik.

4. Bagi Pembangunan Kota di Masa Depan.
Urbanisasi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai strategi pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga sebagai proyek sosial untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bersama. Perencanaan
kota yang berkeadilan sosial perlu memperhatikan prinsip inklusivitas, redistribusi ruang, dan
kesetaraan akses terhadap sumber daya publik.

C. Penutup
Melalui tinjauan teori Karl Marx dan Ralf Dahrendorf, dapat disimpulkan bahwa konflik
sosial adalah denyut nadi perubahan masyarakat. Dalam fenomena urbanisasi, konflik yang lahir
dari ketimpangan sosial, ekonomi, dan otoritas tidak dapat dihindari. Namun, jika konflik tersebut
dikelola secara demokratis, ia dapat menjadi dasar bagi transformasi sosial yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Oleh karena itu, memahami dan mengelola ketimpangan sosial secara reflektif merupakan langkah awal menuju pembangunan kota yang lebih manusiawi dan setara. (Erianto Perangin-Angin)

Rekomendasi untuk Dibaca

Sundapost.co.id